Esai


Dari Patpat Gulipat sampai Dagelan
oleh Rg Bagus Warsono

   Menyorti puisi Sekarepmu bukan hal yang biasa seperti pada puisi-puisi dengan tema lain. Sakarepmu dalam antologi ini memiliki keragaman isi karena ‘sekarepnya itu. Beberapa puisi tampak menggoda karena ada beberapa puisi yang  diangkat dari tema yang lagi hangat di tahun 2015 tetapi ada beberapa puisi yang memiliki kekuatan yang tidak saja hangat pada tahun ini tetapi selalu ‘panas sepanjang masa. Kepiawaian penyair Sakarepmu akan ditemukan pada penyair-penyair yang tak asing bagi pecinta sastra khususnya puisi.

   Ada beberapa puisi yang sanggup mencegah  utuk tidak  berhenti mengapresiasi dalam buku ini, tetapi yang mengupas puisi akan terpana bila menemukan syair yang menawan dipandang. Puisi Sakarepmu telah memberikan warna tersendiri dalam belantara sastra Indonesia terkini. Mari kita buktikan keistimewaan itu dengan apresiasi ‘sakarepmu.

   Penyair  Aan Jasudra, Agustav Triono, Ali Syamsudin Arsi, Aloeth Pathi, Anggi Putri menyuguhkan beragam tema menarik, sedangkan penyair Anggoro Suprapto, Arif Khilwa dan Ary Sastra tampak memberikan warna penghangat puisi yang membuka buku ini semakin menarik. Anggoro Suprapto dalam puisi Pahlawan Gembus (1) dan (2)//............/Sampai akhirnya datang seorang rahib buta/Negerimu belum merdeka, katanya/Rakyat jatuh dari mulut singa masuk ke mulut buaya/Jika dulu dijajah orang-orang asing/Sekarang dijajah bangsa sendiri/...//. Pahlawan Gembus  (2)//..../Angin pun bertiup pelan/Udara mengabarkan/Di negeri ini atas nama rakyat/Muncullah para pahlawan/Mengaku membela kebenaran/Mengaku membela nusa bangsa/Tapi sesungguhnya mereka cidra/Hanya pahlawan gembus/Bicaranya nggedebus/Perilakunya ubas-ubus/Mlekethus//. Arif Khilwa  penyair kelahiran Pathi pada puisi Senayan Beronani//.../Biarkan kelaminmu dikebiri/Air mani akan terus mengalir/Rahim bumi akan mengandung/Lahirkan generasi baru/Yang mampu teruskan Aumanmu/Sebelum mereka ditikam berita.//Ary Sastra penyair Padang dalam Negeri Patpatgulipat//.../di negeri patpatgulipat/banyak yang mengaku bermartabat/pura pura pegang amanat/eh tak tahunya penjahat/.../di negeri patpatgulipat/semuanya mengaku atas nama rakyat/bergaya seperti ustad/uang rakyatpun disikat/...//.

   Pada puisi-puisi Buana K.S, Budhi Setyawan tidak kalah menariknya, sedang Dasuki Kosim dengan  Ada Google Traslate di Gedung DPR memberi warna Sakarepmu kehangatan itu. Mari kita lihat puisi Dasuki Kosim : Ada Google Traslate di Gedung DPR//Merubah bahasa rakyat /pengamat politik atau pakar universitas/Oleh corong mikrofun/Dimeja dewan , sehingga A jadi B dan kemudian A lagi lalu C/Google Traslate di Gedung DPR bicara sendiri/Lalu diamieni/...// dan perempuan penyair Denis Hilmawati  juga bertutur tentang Perjalanan Panjang-nya.

   Diah Natalia, Eddie MNS Soemanto,  Eri  Syofratmin dan Fernanda Rochman Ardhana serta  Fitrah Anugerah memberikan judul-judul puisi yang menarik lagi.Berikut beberapa cuplikannya : Diah Natalia perempuan penyair  kelahiran Jakarta pada puisi Sederhana//....../Kepada pezina bangsa,/Haruskah lebih banyak darah yang mengalir agar kita tahu betapa merahnya bendera kita?/Haruskah lebih banyak kain kafan, agar kita tahu betapa putih bendera kita?/Sederhana saja,/Jagalah impian kemerdekaan/Jadikan bangsa ini mumpuni/Damai dalam ahlak kesantunan/
Sejahtera dalam kemandirian//.Eddie MNS Soemanto pada puisi berjudul Sakarepmu penyair kelahiran Padang ini mengungkap bagaimana kemunafikan manusia , berikut cuplikannya://......./maka teruslah kamu bicara/teruskan puja-pujimu kepada pekerjaanmu/kepada pimpinanmu/ sementara puja-pujimu kepada Tuhan/ hanya mungkin, diletakkan sebagai pemanis/ karena itu semua gak ngaruh/dengan sikap dan omonganmu/...// Eri  Syofratmin penyair dari Muara Bungo pada puisi Ulat Bulu :puisi pendek yang sarat makna//Meraba satu/satu kena/kena semua/miyang/di garuk satu/satu kena/kena semua/ gatal/dasar ulat bulu/menyebar di helai-helai/kebencian dan kedengkian//. Fernanda Rochman Ardhana kelahiran Jember pada puisi Sajak Penutup, berikut cuplikanya//../dari semok pantatmu kami kian mencumbui tanya://.........../“Inikah pemuas birahi yang Tuhan sajikan dari surga-Nya?”/hanya saja kami tak dapat nikmati, dari balik tudung/rambutmu berbiak di puncak alam pikir/lurus ataukah berkelok, hingga mampu mengumbar amal/bagi kami, lelaki penuh makrifat//.

Fitrah Anugerah penyair kelahiran Surabaya menulis Pada Celana Dalamku//..../Aku meluapkan kidung kegembiraan./ Aku menjerit pada ombak ganas.Tenggelam aku pada palung terdalam. /Agar ikan-ikan menemui tubuhku/Kau tahu akan kembali padamu pagi nanti di pinggir dermaga/Kau akan melihat ikan-ikan kecil terkumpul dalam celana dalam/Dari tubuhku kaku tak bernama//.Penyair  Fitriyanti , Gampang Prawoto, Gunta Wirawan menambah semaraknya Sakarepmu, berikut cuplikannya: Kesunyian  (Fitriyanti)//...../Walau hari-hariku tetap sendiri/Nan jauh dari ramainya perkotaan /Yang entah sampai kapan kan berakhir/ Tapi ku harus tetap tegar / Yah..tegar untuk jalani hidup /Sebagaimana yang sudah ditakdirkan Sang Pencipta//.
Sedang Gampang Prawoto penyair Bojonegoro menulis Sarijah Gadis Virtual
/...// batubatu beterbangan/membelah membutir kerikil/merias wajah semolek debu/
menghampiri celah dinding/dinding halus kuning langsat/Si cantik "Sarijah" gadis lugu/
lahir  di desa tanpa listrik, sumur dan wc/besar di metropolitan/berseliweran mobil mewah/berbaju tak berkutang, berkutang tak berbaju/menjulang tinggi apartemenmewah berkemul kaca/berpenghuni tanpa katepe dan surat nikah/...//.
Gunta Wirawan penyair kelahiran Singkawang Kalimantan Barat menulis Surat Terbuka Untuk Asap//...../Asap/Kamu itu ya/tempingal1 alias bengal/Sudah berapa kali aku bilang/Jangan cemari udara di negeriku ini/Jangan sesakkan napas anak-anak kami//......../ Di Kalimantan/Orang utan dan bekantan kena isap/Napasnya turun-naik, berbunyi sit sit/Sebagian asmanya kambuh, sebagian batuk darah/Sebagian mati/................/Bukan salah pengusaha, bukan salah penguasa/Bukan karena rakyat durhaka/Sebab tabiat maksiat, tabiat manusia:/Urusan hutan terbakar, terbakarlah saja/Jangan pula kau yang mengambil kesempatan/Menari-nari di atas penderitaan kami/Menyebarkan dirimu di seantero negeri/..........//.

   Harkoni Madura dalam Tilawah  Tanah  Air, Haryatiningsih dalam Rekaman Maling, Hasan Bisri BFC  dalam Jangan Salahkan Aku . Berikut cuplikannya Harkoni Madura penyair asal Sampang Madura pada Tilawah  Tanah  Air : //....../menilawah tanah air/yang kumandang bukan kidung, bukan tembang/tapi erang sengangar umpatan/atas nama luka sayat kemanusiaan/yang sempoyongan, dan pingsan di hutan-hutan/ //menilawah tanah air/serasa dipupur,intrik,teror,persibakuan/dan sengkarut persekongkolan/,,,//. Haryatiningsih bicara Rekaman Maling//...../Ada maling bicara maling/Direkam oleh maling/Maling dan maling direkam/Karena kemalingan//. Sedang Hasan Bisri BFC menyuguhkan puisi yang sangat menarik
berudul :Jangan Salahkan Aku.

   Helmi Setyawan dengan Aku ini Guru, Heru Mugiarso pada Apa Agamamu menambah gairah pembaca //.../Meja kursi apa agamamu/kok setiap malam/tak pernah membaca kitab suci/Kelamin, apakah agamamu/mengapa tak berzikir/setiap kali bercinta/Apa agamamu/Mengapa tak sembahyang/jiwamu?//. Iis Sri Pebriyanti perempuan remaja penyair asal Indramayu   di judul Pagi Hari//....../Dengan perasaan bahagia/Dan berharap hari ini akan lebih baik/Dari hari-hari sebelumnya//. Jen Kelana penyair dari Nganjuk menulis , Kuteriakkan Hujat, Muhammad Lefand dari Sumenep menulis pada Matra Sang Presiden  Bukan Penyair. Marsetio Hariadi pada Cinta Melulu, juga bagus disimak kita lihat ://seperti kucing anggora saja/seperti hamster saja/seperti cihuahua saja/yang takut melihat banyak anjing lapar di jalanan/Cinta memang bangsat/.....//. Nanang Suryadi penyair dari Serang  menulis Dongeng, Penyair Kok Mendongeng?//......./“kasihan kau penyair, sibuk dengan imajimu sendiri.” katanya kepada cermin, selesai mandi/ia membeli yoyo, dari pasar malam. ...........//.

Kemudia kita lihat berikutnya, Navys Ahmad pada puisi Negeri Parahdoks
//di negeri ini/hutan-hutan kita paru-paru dunia/paru-parunya terbakar marahlah dunia/.../.../di negeri ini/orang bijak bayar pajak/sudah bayar malah dibajak/...//.
 Novia Rika dengan “Puncak Cinta”-nya. Berikut cuplikan Puncak Cinta itu //......./Buat apa kau bakar nafsumu/Pada ilusi secerah warna mentari/Paha-paha terbuka/Dada-dada menggoda/Bibir-bibir merona/Tak 'kan mengajarkanmu cinta/Cinta tertinggi ada pada wanita/Yang mengendapkan cintanya dalam hati/Membiarkannya perih/'Tuk membuka jiwa yang murni//.


Nunung Noor El Niel penyair kelahiran pada puisi berjudul “Sampah”
//.../seperti sampah yang membusuk /menjadi timbunan-timbunan menyengat /
hanya untuk penampungan hasrat /ingin tumbuh subur sebagai benalu /
yang dipupuk dengan hujatan-hujatan/....//. Nur Fajriyah peyair muda asal Indramayu pada puisi  Punggung yang Pergi (Ayah) menarik juga untuk direnungkan , sedang Osratus penyair Purbalingga yang tinggal di Sorong dalam puisi “Sebungkus Protes Rebus (untuk diriku)”/....// Halilintar, menyambar teko egoku/ Tutup telinga tutup hati, tidak mau aku/Mungkin, dia ingin mengatakan sesuatu/ Tapi usai berkoar, sembunyi di ketiak soreku/ Kapan kita duduk bersama, halilintarku?/...//. Rini Garini perempuan penyair ini menulis Dongeng Sebelum Tidur berikut cuplikannya ://.../Tikus-tikus beranak pinak /Layaknya gelombang pasang mereka berarak-arak /Mereka tak tahu lagi pijakan dan kehilangan pandangan/tikus berubah jadi buaya yang menakutkan / Jaring-jaring kata menjadi siloka yang tak bisa diterka/cicak-cicak selalu usil mengawasi gerak-gerik mereka/ perseteruan makin bergelora dan penuh prasangka/ Kedua belah pihak saling memasang perangkap./Kata-kata tak pernah senyap./Riuh suara-suara dalam udara pengap//.

   Riswo Mulyadi penyair dari Banyumas juga menulis tentang guru dalam puisi Doa Seorang Guru  di  Hari  Guru//.../Tuhan, karuniai aku ilmu yang dapat kuberikan di sisi amalku/sedikit saja, tak apa/asalkan mereka tercahayai/Tuhan, jangan tunjukan pada muridku, lauk yang kusantap/biarkan mereka melahap sarapan paginya dengan nikmat/agar di kelas mereka tetap semangat/...//. Riza Umami penyair muda belia dari Indramayu dalam  Anugerah Tuhan//.../Pahamilahh./Resapilahh.. /Tuhan begitu adil /dan pada akhirnya /Semua yang kita lakukan akan mendapat balasanNya / Balasan yang begitu bijak /bijak dari apa yg kita perbuat /dan Tuhan akan tunjukkan kasih sayangNya.//.Sahadewa penyair dari Kupang menulis puisinya berjudul “Apa itu yang berbeda” berikut petikannya://.../Apa itu yang berbeda/Aku berkulit legam eksotis/sedang kulitmu bagai dipernis/Mulutku merah karena sirih pinang/sedang bibirmu bergincu bersulam benang/...//.Samsuni Sarman Penyair dari Banjarmasin menulis puisinya yang apik berjudul Percakapan di  Runway//..../Maaf, saya ke Amrik bukan untuk selfi kok/cuma belajar bagaimana mengatur tambang emas di Papua/dan beberapa tambang minyak di lepas pantai/tentu untuk masa depan investasi yang lebih baik/dan saling menguntungkan, ya kan/...//.

Slamet Widodo penyair Solo yang bermukim di Jakarta  pun menulis “Republik Dagelan” untuk Sakarepmu ini //.../...//Yang Mulia ............hamba saluut keberanian Paduka/melanggar etika dengan santun didepan mata/ hamba saluud keberanian paduka/mempertontonkan opera sabun dengan telanjang/hamba saluud keberanian paduka/melecehkan rakyat dengan tegas lugas dan tega/Yang Mulia ......../hamba salud keberanian paduka/berani dimaki .... berani dikutuk / berani diludahi .... berani dibajing bajingkan/ tak semua orang punya mental seperti paduka/bisa ceria menutup mata /....//. Sokanindya Pratiwi Wening dari Aceh di puisi “Indonesia Sakit” berikut cuplikan syairnya ://..../kalau para yang mulia itu sakit/aku juga sakit/sakit jiwa!/dulu memilih para pencoleng itu/mencoleng harta ibunya sendiri...!//.
Sunaryo JW dari Padang Lawas Utara dalkam puisinya “Sajak  Tong Kosong”
//.../Ini adalah kaki yang lelah berjalan/Mendaki gunung, menyeberang lautan/
Mencari emas, menangkap ikan/Tapi kau kubur dan kau tenggelamkan./
Kau rekreasi ke luar negeri./Kami mati,/Kau menikmati selangkangan lagi!/.../
.../Begitulah kini Indonesia!//.

   Sus S . Hardjono penyair dari Sragen menuturkan tetang” Candi”, sedangkan Suyitno Ethex menulis “Telatah Mojopahit”
//.../orang-orang salah kaprah mau benar sendiri/tak ada yang mau merasah salah, bila membohongi/hanya karena ingin kepuasan cepat tersaji/kalau semua sakarepe, jangan keblablasan/hingga lupa sejarah peradaban/yang susah, yang ditinggalkan/
karena bukan jamannya yang edan/tapi manusianya yang kehilangan/olah pikir yang keblablasan//. Tonganni Mentia perempuan penyair ini menulis “Pedati Senin Pagi” sedang perempuan penyair lainnya Tutik Hariyati S  asal Sumedang menulis  puisi “Siapa Mau Bicara Pertama”//.../Ketika keluarga makan bersama/Siapa mau bicara pertama/Besok besok /Berjalan apa adanya saja/Bu kenapa menu tak seperti biasa.//.
Ustadji Pantja Wibiarsa dalam Pelangi Jatuh, seperti cuplikan tulisannya :
//..../di dalam rumah, di pringgitan, di pendapa, di pelataran
di gapura, di jalan, di hati nurani orang-orang bermata tajam
tahukah kau, pelangi itu sedang dalam perjalanan
mengemban tugas dari penciptanya dengan misi penyelamatan
menyebarkan pengetahuan tentang perawatan dan pelestarian/........//.
Wadie Maharief penyair dari Yogyakarta mengungkap “Guru” dalam puisinya berikut cuplikannya: //....../Aku telah lama jadi bekas murid/tapi kau mungkin sudah jadi pensiunan guru/Kau tidak diingat ketika bekas muridmu jadi orang hebat/
kaya raya dan terkenal,/ tentu ini yang kau inginkan pada setiap muridmu/
Kau tidak salah ketika bekas murid ada yang jadi maling,/copet atau koruptor dan bahkan teroris, /ini pasti tidak pernah kau inginkan pada setiap muridmu/...//.

    Wahyu Hidayat peyair dari Telagasari, Kepada Mantan berikut cuplikannya.
//.../aku telah menjadi debar yang lain bagimu. /dan sesungguhnya hujan dan malam tak perlu lagi kaurindukan,/jika semata mereka adalah jembatan untukmu mengingat masa lalu. /...//. Wans Sabang penyair dari Jakarta menulis “Segeralah Ajal!”
"Ajal, apa orang mau mati masih perlu bantal dan guling?" Di temani bantal-bantal empuk beserta guling gemuk berisi bulu-bulu angsa. Selang inpus meringkuk di ranjang tidur. Sering kusebut sebuah nama. Entah nama siapa? Yang jelas bukan nama Tuhan. Sementara para iblis dan malaikat menunggu di ruang tamu, berebut untuk saling merenggut ruh yang telah lama ku simpan di palung tubuh./ ...//. Wardjito Soeharso, peyair dan Budayawan asal  Semarang memberi puisi berjudul ”Main Bermain” //.../Bermain tali/: terjerat/Bermain mata/: dusta/Bermain gila/: lupa keluarga/Bermain cinta/: duh, indahnya.//. Tampaknya Wardjito terinspirasi filosofi Jawa yang sering diungkapkan dalam keseharian yang kadang dilupakan, padahal jika direnungkan dapat sebagai pegangan dalam melangkah, keunggulan puisi ini adalah susunannya dimana baris-baris terakhir adalah sebuah klimak yang membuat penutup puisi tersenyum. Karakter Wardjito yang melekat adalah gemulainya puisi, meski pesan kadang 'mendobrak tetap memiliki keindahan puisi.

Wirol Haurissa penyair asal Ambon berjudul “Tamu” ciplikannya sebagai berikut ://.../aku turun bawakan oleh-oleh/sebuah lautan dan gunung dari sebarang/
jawabmu terserah /aku terima dengan kehangatan/seperti matahari tumbuh di atas pagi/kau berbisik, berikan padamu/aku jawab terserah/...//. Kemudian Yuditeha penyair asal Solo pada puisi “Reshuffle Kebelet” meulis ://.../suara klakson memantul di tembok ruang/dan sebagian serpihannya menancap ke daun telinga/membakar niat hingga menghanguskannya/barisan mata berlomba menonjolkan biji-bijinya/bernapsu memenangi sesuatu/yang sebenarnya bisa diurai damai/...//. Zaeni Boli peyair kelahira Flores yang bermukim di Bekasi ini pun turut dalam puisinya Tanggal yang Keliru, seperti cuplikaya: //Menjadi beling di matamu/Yang tajam dan indah adalah tatapan/Yang kanan dan kiri dalam ingatan adalah senyum/Dena/Bunga mekar/Kembang kuncup/Juga jamur di atas tai kebo/Adalah layang-layang putus dari imajinasi hari sabtu/...//.

   Keragaman puisi-puisi Sekarepmu memiliki kesan yang sama yakni sebuah kecintaan terhadap negeri ini , tetapi ada yang menyoroti tentag guru ,tentang alam, tentang kesendirian, tentang cinta, bahkan tentang gagasan antologi ini, yang diungkapkan dalam bahasa penyair tersendiri dengan berbagai sifat ungkapan yang dikemas pada frase-frase pilihan sehingga merupakan diksi yang membawa puisi itu menarik dibaca.
   Tiada adil jika mengupas beberapa puisi sakarepmu, dengan berbagai sudut pandang, apalagi satu –persatu , hanya sebuah pembuka sakarepmu agar menjadi kenangan indah. Apresiasi selanjutnya tentu pada pembaca, puisi-puisi Sakarepmu sangat menghibur dan makna yang luas.
   Akhirnya kita dapat menangkap bahwa sesungguhnya telah terjadi protes terhadap apa yang tidak selaras dalam kehidupan di republik ini yang diungkapkan bahasa penyair dalam bahasa puisi. Dan penyair hanya bisa berharap dan memberikan sumbangsih untuk penyelamatan ruh negeri ini.

 Rg Bagus Warsono, Kurator di HMGM tinggal di Indramayu.17-12-2015