Pengantar Antologi

Sebuah Pengantar Antologi Sakarepmu
oleh Sosiawan Leak

Sakarepmu (bahasa Jawa) secara harafiah berarti “semaumu”, “sesukamu”, atau dalam terjemahan bebas adalah “suka-suka kamu”, “semau-maumu”. Di masyarakat Jawa kata itu sering digunakan sebagai ending pembicaraan manakala seseorang mendapati logika lawan bicaranya telah tertutup dan tidak bisa diuraikan lebih lanjut. Hal itu misalnya terjadi pada orang tua yang menasehati anaknya namun sang anak terus membantah dan tak mengindahkannya. Maka si orang tua dengan jengkel cenderung akan berujar, “Sakarepmu!”
Sebaliknya kata itu juga acap dipakai oleh seseorang yang menyerahkan suatu urusan secara total, menyeluruh, dan tanpa reserve kepada orang lain, yang dengannya mengindikasikan bahwa orang tersebut tidak lagi bakal cawe-cawe dalam proses penyelesaian urusan tersebut hingga purna. Misal ketika seorang caleg menyerahkan segala urusan kampanye kepada tim sukses yang berani menjamin kemenangan sang caleg dalam suatu even pemilu. Ia akan berkata, “Atur sakarepmu!”
Dalam khasanah pergaulan berlatar budaya Jawa kata sakarepmu paling tidak dilahirkan dari dua situasi psikhologis yang ekstrim dan saling bertentangan. Kata itu bisa lahir lantaran rasa frustasi yang luar biasa, buntu logika, dan tak tahu lagi harus berkata apa, atau sebaliknya dapat terlontar dengan rasa ikhlas yang lunas disertai penyerahan diri dan kepercayaan tanpa batas. Barangkali benar pendapat sebagian ahli yang meyakini bahwa kematangan kebudayaan mampu mengakomodir dua ekstrimitas sistim nilai yang (jika dihadap-hadapkan) cenderung kontradiktif bahkan bertolak belakang. Yakni antara sistim nilai yang membangun demi keutuhan dengan sistim nilai yang bernapsu menghancurkan atas nama kecarutmarutan, antara nilai kelembutan dengan nilai kekerasan, antara yang bijak dengan yang banal, serta yang frustasi dengan yang berserah diri sebagaimana dalam sakarepmu itu.
Sisi lain kehidupan kampung di Jawa juga acap menjadikan paradigma sakarepmu malih rupa kreativitas masyarakat dalam mengolah panganan (snack) dari bahan makanan tertentu namun terus dieksplorasi dari waktu ke waktu. Pola pikir itulah yang telah membuat singkong (pohung, bahasa Jawa) ‘dihajar’ habis-habisan lewat proses pengolahan yang aneh namun berkesinambungan. Di hari pertamanya sang pohung paling hanya akan direbus dengan menambahkan sedikit garam. Namanya pun masih bersahaja; pohung! Namun jika tak habis dimakan, sisa pohung rebus itu tak akan disia-sia bahkan bakal digoreng pada hari kedua dengan menambahkan tumbukan bawang putih dan garam sebagai penyedap rasa. Namanya masih tetap sederhana meski kian mentereng; blanggreng! Pada hari ketiga jika si blanggreng tak habis disantap juga, ia bakal ditumbuk dan diberi bumbu baru berupa gerusan bawang putih campur garam dan sedikit merica lantas diberi nama lebih gagah; gandhamana! (mirip nama patih Kerajaan Hastina jaman pemerintahan Pandu, ayah para Pandawa). Jika pada hari berikutnya pun tak lampus pula, gandhamana akan dicincang-cincang dan dicampur dengan bahan makanan lain (ketela, talus, kacang-kacangan) serta diberi racikan bumbu baru lantas digoreng lagi! Namanya lentho!
Maka tidaklah aneh jika akhirnya kita juga mengenal pisang bukan hanya sebagai buah yang disajikan langsung di meja makan tanpa proses pengolahan. Menganut logika sakarepmu pisang juga bisa digodog, digoreng, dikeripik, disale, atau disale sekaligus diproses sebagai manisan (sale basah). Uniknya, konsekwensi logis yang mengikuti proses pengolahan secara sakarepmu itu menuntut orang untuk paham berbagai jenis pisang sesuai karakter rasa dan kemanfaatannya. Hingga belakangan dikonangi hanya pisang kepoklah yang kelezatannya bakal menyempurna manakala digodog atau digoreng. Demikian pula butuh pemahaman atas jenis pisang lainnya yang akan lebih nikmat jika diolah dengan cara tertentu. Sementara untuk pisang yang disajikan langsung pun telah dikenali pula rasa khas dan kegunaannya (pisang susu paling tepat sebagai pencuci mulut, pisang ambon paling sesuai bagi pencernaan bayi sekaligus penopang gizi manakala ia bakal disapih dari air susu ibunya, dan lain-lain). Jadi beda jenis pisang berbeda pula perlakuannya. Intinya pisang boleh diperlakukan semau-maunya meski belakangan muncul prasarat-prasarat tertentu yang tak lagi sekedar sakarepmu!
Demikian pula yang terjadi pada makanan khas Indonesia semacam tempe yang boleh dimasak menjadi tempe goreng, tempe bacem, tempe mendoan, atau tempe keripik. Bahkan luar biasanya tempe bosok (busuk) pun diperlukan keberadaannya untuk dimanfaatkan sebagai bumbu penyedap rasa. Semuanya sakarepmu, tergantung proses pengolahan dan itikad peruntukannya.
Pola pikir sakarepmu pula yang barangkali melahirkan sayur berjuluk bledhi di beberapa kampung di Jawa. Ia adalah sejenis sayur campuran (dari aneka sayur matang) yang melalui proses panjang lantaran dimasak dan didaur ulang berkali-kali setelah selama beberapa hari tak habis disantap dan selalu dihangatkan agar tak basi. Bledhi adalah semisal sisa oseng-oseng (sayur dominan pedas) di hari Senin, yang dicampur dengan sisa tomis kangkung (sayur dominan manis) di hari Selasa, ditambah sisa jangan gori (sayur nangka muda yang dominan gurih), serta sisa-sisa sayur aneka rasa lain di hari berikutnya, lantas dituang dalam satu panci dan dimasak ulang ditambah bumbu dapur sesuai selera ‘si koki’. Bledhi adalah sayur berbahan ala kadarnya sebagai representasi masyarakat kelas rendah yang memilih gemi (hemat), setiti (senantiasa merumat apa yang telah dimiliki) secara sakarepmu di tengah gempuran modernitas yang hedonis serta kemajuan jaman yang prakmatis.
Apakah dengan latar belakang dan konsepsi sakarepmu semacam itu buku Sekumpulan Puisi SAKAREPMU; 100 Penyair Mbeling Indonesia ini diterbitkan? Apakah antologi ini tidak sekedar mengulangi gejala yang pernah ada dalam sejarah kesusastraan Indonesia?
Agus Warsono (Penyair Indramayu) yang memelopori (sekaligus mendanai) penerbitan buku antologi puisi ini menuliskan sikapnya sebagai berikut. “Sebuah antologi sebagai sekumpulan puisi yang tanggap akan perilaku sakarepmu dewasa ini, sehingga membuat 100 penyair mbeling berbuat sakarepnya dalam memotret perkembangan Indonesia dewasa ini. Menutup tahun 2015 sebagai tahun-tahun pancaroba negeri, puisi-puisi sakarepmu akan mewarnai khasanah sastra Indonesia”. Lebih lanjut menyoal genre puisi yang dia bidik, penggagas dan motor penerbitan Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia Jilid 1, 2, dan 3 (2013, 2014, dan 2015) itu tidak memberi acuan khusus tentang model puisi sakarepmu sebagai rujukan konsep puitika maupun latar belakang penciptaan karya. Dia hanya menuliskan, ”Naskah bebas genre, tetapi tidak menunjukan unsur menyinggung pertentangan agama, ras, golongan, suku, serta unsur hujatan pada pribadi/ lembaga. Pendek kata kesemuanya harus masuk dalam koridor Pancasila dan UUD 1945”.
Sebelumnya dalam khasanah sastra Indonesia, meski dengan latar belakang dan konsep eksplorasi yang berbeda-beda paradigma semacam sakarepmu tersebut pernah melahirkan sejumlah gejala anti kemapanan di ranah puitika. Hal itu tergambar lewat gerakan ‘Puisi Mbeling’nya Remy Sylado (tahun 1970-an), penerbitan buku dan pentas keliling ‘Puisi Humor’nya Jose Rizal Manua (tahun 1989), gejala ‘Puisi Balsem’nya Mustofa Bisri (tahun 1991), serta penerbitan sejumlah buku puisi (Kentut tahun 2006, Selingkuh tahun 2008, Ijab Kibul tahun 2013, dan lain-lain) karya Slamet Widodo yang belakangan disebut sebagai ‘Puisi Glenyengan’.
Membaca karya-karya dalam buku ini kita bakal menemukan ‘rambu-rambu’ ke mana ‘Puisi Sakarepmu’ akan menuju. Semoga begitu!

Sosiawan Leak, penyair , budayawan tinggal di Solo